Dari segi semantik, "korupsi" berasal dari bahasa
Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata
dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang
berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan
sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena
adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai
menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan
administrasinya.
Korupsi adalah suatu
tindak pidana yang merugikan banyak pihak. Penyebab adanya tindakan korupsi
sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah
dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi atau orang lain secara tidak sah.
Mengutip teori yang
dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
§
Greeds (keserakahan):
berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam
diri setiap orang.
§
Opportunities (kesempatan):
berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang
sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan
kecurangan.
§
Needs (kebutuhan):
berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk
menunjang hidupnya yang wajar.
§
Exposures (pengungkapan):
berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan
apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan
dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam
organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan
pihak korban. Sedangkan faktor-faktorOpportunities dan Exposures berkaitan
dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat
yang kepentingannya dirugikan.
Menurut
Arya Maheka, Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya Korupsi adalah :
1.
Penegakan hukum tidak
konsisten : penegakan huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat sementara
dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
2.
Penyalahgunaan
kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan
kesempatan.
3.
Langkanya lingkungan
yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas
formalitas.
4.
Rendahnya pndapatan
penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan
penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi
dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
5.
Kemiskinan,
keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan
ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah,
tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
6. Budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah.
7.
Konsekuensi bila
ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa
menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan
hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap.
8.
Budaya permisif/serba
membolehkan; tidakmau tahu : menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering
terjadi. Tidak perduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
9.
Gagalnya pendidikan
agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama
telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena
perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap
agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama
nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz,
sebenarnya agama bisa memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya.
Karena adanya ikatan emosional antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi
agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang
sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain.
Kabinet
Djuanda
Di masa Orde
Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama,
dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut
Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H.
Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan
Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data
mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah
ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi
keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara
langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi
langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir
tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada
Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi
Pada 1963,
melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H.
Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan
Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang
lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat,
yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi
alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang
tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas
dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga
berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11
miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh
Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi
(Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa
seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama
pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
Orde Baru
Pada masa
awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto
terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi
dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan
memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi
(TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai
dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof
Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama
membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom,
Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh
bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina,
misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite
ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat
sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara
lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode
pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas
korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi,
sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para
koruptor di singgasana Orde Baru.
Era Reformasi
Di era
reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan
mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai
komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara
(KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid,
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat
menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu
judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika
membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami
oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN
melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya,
KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.[2]
Dasar hukum
pemberantaran tidak pidana korupsi adalah sebagai berikut.
a. UU No. 20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. UU No. 28
tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan
Bebas KKN.
c. UU No. 3
tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
d. UU No. 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e. Ketetapan
MPR No. X/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Negara yang
Bersih dan
Bebas KKN.
f. UU No. 15
tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
g. UU No. 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK).
h. Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang
Percepatan
Pemberantasan Korupsi.
i. Peraturan
Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan
dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
j. Peraturan
Pemerintah No. 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber
Daya Manusia
KPK.
Serangkaian
tindakan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi (melalui
upaya
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksanaan
sidang pengadilan) dengan peran serta masyarakat berdasarkan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku disebut pemberantasan korupsi (UU
30/2002 Pasal
1 butir 3). Berdasarkan UU No. 30 tahun 2002 telah dibentuk
komisi yang
khusus menangani korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Tugas
KPK adalah menyelidiki para pejabat yang dicurigai melakukan
tindakan
korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Pasal 3 undang-undang
tersebut
adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Berikut ini
macam macam korupsi yang sering kita jumpai, diantaranya adalah :
Korupsi
intelektual, seseorang yang dengan sengaja memberikan informasi atau data
ilmiah yang salah untuk kepentingan politis atau karirnya.
Korupsi etis,
perbuatan yang salah atau jahat yang diusahakan supaya dianggap sebagai
perbuatan yang baik.
Korupsi
moral, kejujuran umum yang sudah sangat merosot, misalnya, penurunan kesetiaan
terhadap sesama.
Korupsi waktu
kerja, misalnya, santai, ngobrol, atau mengurus kepentingan diri sendiri pada
waktu kerja tanpa alasan.
Korupsi uang,
perbuatan seorang pejabat perorangan atau kelompok yang memiliki kewenangan
mengelola keuangan untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Korupsi yang
dilakukan oleh orang/ perseorangan/ koperasi
Korupsi yang
dilakukan oleh pegawai negeri/ orang selain pegawai negeri
Korupsi yang
dilakukan oleh pegawai negeri/ penyelenggara negara.
0 komentar:
Posting Komentar